Senin, 18 Januari 2016

Beratnya tinggal di Jakarta


Memiliki tempat tinggal yang layak masih menjadi impian bagi segelintir orang di Jakarta. Beberapa memilih tinggal di tempat yang bisa dibilang tidak layak untuk dihuni. Contohnya seperti dipinggiran kali, dikuburan, dipinggir jalan, dan lain – lain.

Rahman  (45) seorang pemulung yang terpaksa tinggal di makam karena tak mampu membayar kontrakan.  Setiap hari ia banting tulang untuk sekedar mencari makan untuk anak dan istrinya. Ia tinggal di TPU Cipinang Besar, Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Lebih tepatnya diatas kuburan masyarakat Tiongkok yang notabennya makam tersebut berukuran besar.

Di TPU itu banyak  orang memenuhi makam, khususnya makam Tionghoa. Mereka bertempat tinggal di atas makam-makam tersebut. Makammu, istanaku. Itulah kata mereka yang tinggal di sana. Bertempat tinggal di atas makam bersama puluhan warga lain layaknya rumah pribadi.

Bentuk makam Tionghoa umumnya menggunakan atap. Beberapa menggunakan pilar-pilar, bahkan juga menggunakan marmer. Mereka memanfaatkannya untuk menghuni. Bentuk makam tersebut bisa memberi kenyamanan, bisa melindungi dari terik matahari atau hujan.

Cukup menggelar alas untuk tidur, mereka sudah bisa menikmati malam, meskipun hawa dingin sulit mereka hindari. Makam itu mereka anggap sebagai rumah kontrakan, yang tanpa harus membayar.

Beberapa perabotan rumah tangga, misalnya piring, gelas, dan kasur, tampak berada di atas makam tersebut. Tali-tali mereka bentangkan dari makam ke makam untuk menjemur pakaian. MZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar